Pagi itu Aluna mengungkapkan
semuanya,
”Mereka hancurkan semuanya. Mereka
ambil semuanya. Aku sudah tidak punya teman bicara. Bicara dengan diriku
sendiripun aku sudah lelah.”
“Bicara dengan mereka? Aku tidak
mau jika akhirnya hanya dipersalahkan terus, lagi dan lagi karena apa yang aku
lakukan dulu.”
Kemudian aku berbisik kepadanya,
“Ada aku, yang selalu berjanji tidak pernah
menyakitimu apalagi membahas masa lalumu. Hidup di masa ini tapi berpegang masa
lalu itu hanya dilakukan orang bodoh yang hanya memiliki tameng itu untuk
menekanmu. Bersabarlah, jangan bunuh diri”
Saat itu ku kira kebenciannya sudah
mereda, tapi ternyata tidak, katanya lagi..
“Rasa benci ini sudah ada diujung
rambut. Benar benar sudah tidak ada lagi rasa untuk mereka. Mereka yang
memupukkan semua ini kepadaku hari demi hari. Ya, aku tahu aku salah. Lalu? Apa
itu menjadi alas an untuk mereka memperlakukanku seperti binatang? Bahkan lebih
hina dari itu. Mereka memperlakukan aku sesuka hati mereka. Aku yakin jika ada
orang yang seperti aku, mereka tidak akan bertahan hidup selama aku. Cobalah
berkaca, setahuku yang tidak berhati seperti kalian itulah binatangnya. Bahkan
binatangpun masih punya hati, kalian? Tau sendiri jawabannya. Aku hanya
menjalankan kewajiban sembari menunggu waktu. Membayar semua kesalahanku,
sebisaku, selelahku. Setelah itu, biarkan semesta bekerja. Karena semesta tahu
apa yang jiwa ini mau. Aku mau tidak ada mereka lagi di hidupku”
Akupun tertegun,
Sebenci itukah
dia dengan hidupnya?
Mengapa ada orang orang yang tega melakukan itu kepadanya?
Supaya dia jera?
Iya, dia memang jera, sekaligus
membenci kalian dan dirinya sendiri.
Ya.. biarkan semesta yang
membalas.
Karena hukuman yang kalian
berikan sudah melebihi batas.
Untung saja Aluna seringkali
menghadapinya dengan senyum meskipun aku tahu, di dalam hatinya sudah mati
rasa.
Dini hari kemarin.